81. The Guardian

ditulis oleh prettynewtale

Luna
12 min readOct 15, 2022

ㅤㅤ“Maaf ya, untuk sekarang mesin kopinya lagi sedang dibersihkan, jadi kalau mau pesan coffee based harus nunggu beberapa menit dulu enggak apa-apa?”

ㅤㅤKala itu adalah pertama kalinya konversasi antara Sangyeon dan Chanhee tercipta. Lebih tepatnya, saat dimana Sangyeon mengucapkan kata-kata selain terima kasih, silakan mau pesan apa, atau menyebutkan pesanan saat mengantar nampan berisi minuman dan makanan ke meja Chanhee. Sangyeon berdiri di balik meja dengan kemeja biru muda serta apron cokelat gelap, lengan kemejanya digulung sampai siku dan ia tampak rapi dengan rambut tersisir di atas dahi. Dengan jarak sedekat itu, Chanhee masih merasa sulit untuk menemukan kemiripan Sangyeon dengan sang adik — Haknyeon — yang ia kenal baik.

ㅤㅤ“Ah iya, enggak apa-apa kok,” ujar Chanhee tanpa berpikir panjang, “pesannya bisa sekarang atau nanti dikasih tahu kalau sudah selesai, Kak?”

ㅤㅤ“Bisa sekarang. Kalau mau pesanannya cepat diproses mungkin bisa pesan dari list non-coffee, bisa dilihat-lihat dulu menunya silakan.”

ㅤㅤChanhee melihat list non-coffee sekilas sebagai formalitas, sebab Chanhee tahu ia kemari untuk segelas kopi dan suasana hatinya sedang tidak bisa diajak kompromi dengan berbagai pilihan teh aromatik.

ㅤㅤ“Aku nunggu buat pesan coffee based aja Kak, makasih ya.”

ㅤㅤ“Oke, nanti saya infokan kalau sudah ready. Mau sekalian nunggu di bar?”

ㅤㅤEric pernah bilang bahwa isi kepala Chanhee sangat mudah ditebak sebab air mukanya yang ekspresif. Kalimat Sangyeon tanpa sadar memancing reaksi Chanhee untuk membelalakkan mata dengan kedua alis terangkat. Entah apa yang Sangyeon pikirkan; tetapi barista itu menganggap reaksi Chanhee sebagai isyarat untuk mengulang kalimatnya.

ㅤㅤ“Mungkin kakak mau duduk di bar dulu sambil nunggu waktunya pesan?”

ㅤㅤ“Ah, iya, thank you.

ㅤㅤBaru setelah kakinya menanjak pijakan kursi bar dan duduk menghadap interior area barista, Chanhee menyadari kebodohan dan penyesalannya.

ㅤㅤDia datang seorang diri, sekaligus merasa kikuk setelah duduk di kursi bar yang cukup tinggi dengan pemandangan area kerja barista dan beberapa dekorasi dinding. Pengunjung yang biasa duduk di sini sering dianggap sebagai coffee lovers sejati, karena kebanyakan mereka juga akan mengobrol dengan barista perihal kopi. Alih-alih berpikir tempat ini untuk coffee lovers, Chanhee lebih setuju bahwa bar ini cocok untuk orang-orang seperti Eric.

ㅤㅤTak ada tanda-tanda bahwa Sangyeon akan memerankan barista yang akan mengobrol ramah dengan pengunjung, pun Chanhee tak ada niat untuk bersikap sok akrab. Terlebih setelah gosip yang diberikan Eric padanya tempo hari tentang hubungan Sangyeon dan Haknyeon yang tak terkesan baik. Gugur sudah satu topik basa-basi Chanhee dengan memperkenalkan diri sebagai teman adiknya.

ㅤㅤChanhee mengalihkan pandangan pada dekorasi di rak dinding. Mereka memamerkan koleksi coffee beans dan alat-alat untuk manual brew yang Chanhee tak tahu pasti jenisnya. Yang paling menarik perhatiannya adalah beberapa sertifikat partisipasi serta penghargaan yang terpajang. Nama Jacob dan Sangyeon masing-masing tertera di atasnya, entah siapa yang memiliki lebih banyak. Chanhee sedikit terkejut dan malu setelah menyadari bahwa ia tak tahu banyak tentang Jacob Bae — Kak Jacob yang ia kenal. Ia tak pernah tahu kakak tingkatnya sangat serius dalam menekuni profesinya sebagai barista.

ㅤㅤDi tengah usahanya untuk membaca seisi sertifikat, Chanhee lagi-lagi dikejutkan oleh Sangyeon. Kali ini pria itu menyuguhkan sepiring kukis yang masih terlihat hangat serta segelas minuman dingin di hadapan Chanhee.

ㅤㅤ“Anu — aku belum pesan apa-apa, Kak.” ujar Chanhee gugup.

ㅤㅤ“It’s on the house.”

ㅤㅤ“Eh?”

ㅤㅤSangyeon mengangkat bahunya. Chanhee berani sumpah bahwa ia melihat pria itu tersenyum sekilas dari lesung pipi samar yang sempat tertangkap matanya.

ㅤㅤ“Kamu regular di sini, ‘kan? So it’s on the house, anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena kamu sering buat Jacob happy.

ㅤㅤDalam skenario normal di kepala Chanhee, dua orang asing setelah saling berbicara biasanya akan mulai memahami satu sama lain, atau semakin terlihat intensinya untuk terlibat dalam sebuah konversasi. Namun dialog singkatnya dengan Sangyeon sudah cukup memberi pelajaran pada Chanhee bahwa (1) Sangyeon tidak bisa ditebak (2) Semakin banyak Sangyeon bicara, semakin banyak pula pertanyaan yang timbul dalam benak. Jujur saja, perihal seberapa dekat Sangyeon dengan Jacob kini menjadi tanda tanya besar di kepalanya.

ㅤㅤ“Ah, kalau begini mana bisa aku nolak,” ujar Chanhee, berusaha terlihat tidak terlalu gugup. Kali ini, lesung pipi Sangyeon terlihat lebih kentara. “Thank you, Kak!”

ㅤㅤUcapannya barusan boleh jadi cuma sandiwara, namun reaksi Chanhee setelahnya tidaklah dibuat-buat. Chanhee benar-benar haus, sehingga pemuda itu tak repot-repot menunggu Sangyeon meninggalkanya sendiri demi menenggak minuman di hadapannya.

ㅤㅤLemon tea, perfect. Sudah diberi gratis, Sangyeon juga berbaik hati memilih minuman yang cocok untuk dinikmati setelah Chanhee berurusan dengan panasnya siang hari.

ㅤㅤ“Saya tahu tujuan kamu selalu ke sini itu mau ngapain.”

ㅤㅤChanhee tersedak.

ㅤㅤ“A-apa, Kak?”

ㅤㅤPangkal hidungnya terasa sedikit ngilu akibat cairan yang hampir naik saat tersedak; tetapi Chanhee tak memiliki waktu untuk komplain karenanya.

ㅤㅤSangyeon di sisi lain tampak tenang, seolah sebelumnya ia tak baru saja sengaja menjatuhkan bom saat lawan bicaranya sedang menenggak cairan; seolah ia memang tidak sedang menguji reaksi Chanhee atas kecurigaannya selama ini.

ㅤㅤ“Begini ya, Chanhee,” Sangyeon melipat lengannya, bersandar pada sisi meja hingga jarak pandang keduanya lebih dekat. “Kamu boleh saja satu tahun bolak-balik ke sini berharap suatu hari Jacob akan buka kartu duluan ke kamu, tapi saya enggak bisa pura-pura enggak tahu tentang gambling yang kamu lakukan di sini.”

ㅤㅤ“Gambling?”

ㅤㅤChanhee berharap Sangyeon salah menebak seperti Sunwoo, mengira bahwa tujuannya kemari hanya sebagai dedikasinya untuk mengejar cinta Jacob. Namun Sangyeon lebih cermat, atau mungkin, Chanhee memang sudah kehabisan alibi untuk terus menutupi kebohongan ini.

ㅤㅤ“Kamu sedang mencari tahu tentang urban legend di sini, kan?”

ㅤㅤChanhee tak tahu harus bereaksi apa lagi selain tertawa kecil. Sudah tertangkap basah, rasanya sia-sia jika ia berusaha menampik kebenaran yang diucapkan sang barista.

ㅤㅤ“Hehe, kok bisa tahu, Kak?” tanya Chanhee. “Aku juga minta maaf sebelumnya kalau Kak Sangyeon atau Kak Jacob merasa enggak nyaman.”

ㅤㅤ“Tenang saja, Jacob orangnya memang enggak peka sama sekali, jadi tiap kamu ke sini dia pure happy aja — kukisnya dimakan dulu tuh, masih hangat.”

ㅤㅤChanhee mengalihkan pandangan pada kukis di atas piring. Dalam benak si pemuda, ia sibuk menerka-nerka situasi semacam apa yang sedang ia hadapi? Ia tertangkap basah memang tengah menyelidiki sesuatu oleh Sangyeon, owner kafe ini sendiri. Sementara pihak yang menangkapnya basah kini justru mengajaknya mengobrol santai dengan lemon tea dan kukis gratis. Terlalu aneh. Sangyeon terlalu tidak bisa ditebak.

ㅤㅤ“Enggak ada racunnya kok.” imbuh Sangyeon. Chanhee berharap Sangyeon bisa mengasihaninya sedikit saja karena ia merasa ingin ditelan lantai karena malu.

ㅤㅤ“O-okay, makasih, Kak.” Chanhee melahap sepotong kukis kering, mengunyahnya perlahan sebelum memberanikan diri untuk bertanya. “Jadi urban legend itu beneran?”

ㅤㅤ“Depends, kamu menanyakan urban legend yang mana?”

ㅤㅤEntah kenapa, Chanhee merasa bodoh saat berbicara dengan Sangyeon, dan ia tidak terlalu menyukai perasaan itu. “Aku tahu soal time travel, tapi dari cara Kakak bicara, sepertinya ada lebih dari satu urban legend yang orang tahu tentang tempat ini?”

ㅤㅤ“Well, kamu enggak sepenuhnya salah,” jawab Sangyeon, “perkara time travel itu memang benar.”

ㅤㅤOh. Jantung Chanhee berdegup kencang. Kegembiraan yang ia rasakan diikuti dengan perasaan bangga bahwa ia sungguh berhasil mengungkap misteri yang berminggu-minggu telah memenuhi ruang percakapannya dengan Eric. Meski sembilan puluh persen dalam diri Chanhee sadar bahwa prestasi itu semata-mata diberikan Sangyeon padanya seperti hadiah, Chanhee tetap merasa tersanjung bahwa Sangyeon memilihnya, entah atas dasar apa. Perasaan terakhir itu mau tak mau buatnya sedikit waswas.

ㅤㅤ“Wah,” hanya itu yang mampu dikatakan Chanhee. Benaknya merayakan euforia keberhasilan itu sampai-sampai kemampuannya untuk memilah kata seolah lenyap. Namun Chanhee lebih baik dari itu, dia seorang penyiar radio, kepiawaiannya dalam bercakap adalah salah satu faktor sukses dalam karirnya kala ini. Memalukan rasanya jika satu saja jawaban Sangyeon langsung membuatnya tutup mulut.

ㅤㅤ“Kalau time travel itu benar,” Chanhee menemukan suaranya lagi di tengah sayup-sayup lagu Friday Night Plans nan mengalun dari speaker, selain musik dan dua orang dalam kafe, tak ada lagi entitas lagi yang ciptakan suara lain, “urban legend yang lain itu cuma kabar burung? Atau buat pengalih isu?”

ㅤㅤSangyeon tampak terkesan, untuk pertama kalinya is tersenyum di hadapan Chanhee, memamerkan lesung dan tulang pipinya yang tegas. Kemiripannya dengan Haknyeon tampak kentara, meski Chanhee sadar bahwa dalam hal maskulinitas, Sangyeon jelas berada di level yang berbeda dari adiknya.

ㅤㅤ“Memang enggak salah kalau disebut sebagai pengalih isu, saya dan Jacob pun diuntungkan karena itu,” ungkapnya, Chanhee menyimak penjelasan yang terdengar akan cukup panjang, “seiring berjalannya waktu, banyak hal yang terjadi demi menutupi fakta praktik time travel di sini. Akhirnya orang-orang mulai mengarang cerita dan itu menjadi akar urban legend yang lain. Salah satu yang paling umum adalah rumor kalau tempat ini berhantu. Saya enggak menyalahkan mereka juga untuk berasumsi, lumayan juga urban legend lain cukup jadi distraksi dari topik utama di sini.”

ㅤㅤ“Kalau faktanya memang seharusnya ditutupi, kenapa Kakak memberi tahu aku?”

ㅤㅤ“Karena itu memang tujuan kamu, kan?”

ㅤㅤ“I-iya, sih,” Chanhee menghela napas, tak habis pikir dengan reaksi Sangyeon yang menurutnya kelewat santai, “tapi aku merasa sepertinya yang penasaran soal ini bukan aku saja? Pasti ada banyak orang lain sebelumnya?”

ㅤㅤ“Memang, dan saya enggak bisa memberi tahu sembarang orang.”

ㅤㅤChanhee menunjuk dirinya sendiri. “Aku? Bukan sembarang orang?”

ㅤㅤSangyeon tertawa.

ㅤㅤ“Biasanya orang tuh cukup puas dengan saya kasih tau faktanya aja, tapi kamu sepertinya masih butuh banyak penjelasan, ya.”

ㅤㅤ“Karena memang banyak yang perlu dipertanyakan, Kak,“ Chanhee bersungut-sungut, merasa gemas karena Sangyeon masih melihat seluruh situasi ini dengan normal, “posisiku adalah sebagai ‘orang luar’ yang berusaha tahu rahasia kalian, meski aku senang akhirnya bisa tau kebenarannya, cara Kakak approach aku sekarang bikin aku makin bertanya-tanya, sebenarnya seberapa beresiko kalau urban legend ini tersebar luas? Sementara di sisi lain, Kakak sekarang dengan santainya bocorin hal itu ke aku sambil ngasih free snacks?”

ㅤㅤJeda di antara percakapan mereka membuat Chanhee sadar bahwa ia cukup bernyali untuk mengeluarkan seluruh kalimat itu pada Sangyeon. Sekarang, Chanhee hanya berharap ia memiliki sisa nyali untuk menanggapi lawan bicaranya lagi.

ㅤㅤ“Iya sih, aku sama Jacob memang hutang banyak penjelasan,” ujar Sangyeon, kini terdengar lebih santai setelah menyebut Jacob dalam kalimatnya, “kamu mau penjelasan yang mana?”

ㅤㅤChanhee menoleh ke samping kanan kiri. “Ini enggak apa-apa kita ngobrol? Kakak bukannya lagi kerja, ya?”

ㅤㅤ“Santai saja, kafe ini sering sepi. Kalau memang ada customer, kamu bisa tetap stay di bar,” kata Sangyeon menenangkan. “Enggak akan ada yang curiga kalau kamu ngobrol lama sama barista.”

ㅤㅤ“Oke, kalau gitu …” Chanhee memilah kumpulan pertanyaan dalam kepalanya, karena jujur saja, dia tidak memiliki persiapan untuk mengorek informasi “aku mau tau soal kafe ini dulu, karena aku dapat info Kak Sangyeon adalah founder Traveler Coffee.”

ㅤㅤ“Satu hal yang perlu kamu tahu di awal,” jawab Sangyeon sembari menghela napas, seolah berat untuk mengatakannya, “aku bukan founder atau owner kafe ini.”

ㅤㅤ“Tapi bio Twitter Kak Sangyeon?”

ㅤㅤ“Itu cuma hitam di atas putih,” jelas sang barista, “sejak awal, kafe ini dan bangunan belakang milik Jacob. Aku hanya berperan sebagai owner karena alasan khusus, mungkin untuk jelasnya kamu bisa tanya Jacob langsung.”

ㅤㅤ“Oh iya, Kak Jacob belum datang?”

ㅤㅤ“Dia lagi izin, urusan mendadak di tempat Ibunya.”

ㅤㅤChanhee merasa agak kecewa. Percakapannya dengan Sangyeon hari ini mungkin memang hanya atas dasar kebetulan; tetapi ia merasa seolah semesta memang telah mengatur dengan sedemikian rupa agar segalanya berjalan sesuai alur semestinya.

ㅤㅤ“Aku pernah ke sini tiga tahun yang lalu, waktu itu namanya Lulusia,” ujar Chanhee akhirnya, ia menyadari sedikit perubahan pada air muka Sangyeon, “yang aku enggak tahu adalah, ternyata ada tiga kafe yang sempat menggantikan Lulusia sampai jadi Traveler Coffee ini. Kenapa bisa sampai kaya gitu, Kak?”

ㅤㅤ“Jaringan informasi kamu luas juga, ya.”

ㅤㅤ“Kalau yang itu sih informasi dari Eric.”

ㅤㅤ“Oh, jadi kalian berkomplot buat cari tahu soal urban legend di sini?”

ㅤㅤChanhee mengangkat bahu dan tersenyum kecil. “Bebas kalau Kakak mau berkesimpulan begitu.”

ㅤㅤ“Seperti yang aku bilang tadi, Jacob pewaris tempat ini,” tutur Sangyeon, “tempat ini sudah diwariskan turun temurun, dan tidak hanya itu, Jacob juga mewarisi kemampuan spesial seperti keluarganya — jangan tanya aku detailnya seperti apa, karena aku pun juga terkadang masih enggak bisa percaya sahabatku kaya dukun.

ㅤㅤChanhee hampir menyembur sedikit sisa lemon tea di mulut. Bukan salahnya jika dia tidak berekspektasi bahwa Sangyeon bisa melucu. Aura yang dipancarkan Sangyeon terkesan kaku, bahkan saat melucu barusan dia hampir tidak tersenyum. Chanhee hanya melihat ujung bibirnya sedikit terangkat.

ㅤㅤ“Banyak kesempatan karir di luar sana, dan hal itu membuat aku dan Jacob sempat ada di titik mau menyerah untuk mengurus tempat ini,” atau lebih tepatnya, Jacob, batin Sangyeon dalam hati. Chanhee tak perlu mendengar alasan sesungguhnya saat ini juga.

ㅤㅤSangyeon melanjutkan, “Aku pun memanfaatkan koneksi dan mulai menawarkan tempat ini ke beberapa pengusaha dengan harga miring. Tapi bahkan enggak ada satupun dari para pengusaha itu yang tahan di sini selama lebih dari 6 bulan. Akhirnya mau enggak mau, aku dan Jacob kembali ke sini, dan kami juga merasa terlalu beresiko untuk menjual tempat ini lagi setelah sekian percobaan itu. Sudah cukup tempat ini jadi buah bibir pengusaha yang kecewa karena investasinya gagal, kami enggak mau testimoni jelek mereka soal tempat ini semakin tersebar dan malah membongkar rahasia tempat ini.”

ㅤㅤ“Mereka enggak tahan karena lokasi di sini kurang strategis untuk jadi tempat bisnis, atau ada alasan lain?”

ㅤㅤ“Mereka diganggu.”

ㅤㅤChanhee nyaris menahan napas.

ㅤㅤ“Diganggu … sama?”

ㅤㅤSangyeon memiringkan tubuhnya, berlagak seolah tengah menatap sesuatu di belakang Chanhee, yang lebih muda pun turut penasaran dan menoleh ke arah pandang sang barista. Tak ada seorang pun di sana.

ㅤㅤ“Kamu bisa lihat wanita yang pakai gaun cokelat itu?” ujar Sangyeon.

ㅤㅤChanhee merasa punggungnya seperti diguyur air es. “Hah?”

ㅤㅤ“Enggak bisa, ya?” ujar Sangyeon

ㅤㅤIngin sekali rasanya Chanhee berdalih bahwa Sangyeon hanya mengada-ada, atau berkata candaan itu sama sekali tidak lucu karena beresiko mengundang makhluk tak kasat mata benar-benar muncul. Namun memori akan percakapannya dengan Hwang Hyunjin perlahan mengisi kepingan puzzle akan cerita tentang Traveler Coffee di masa lalu yang meninggalkan kenangan buruk. Pelanggan wanita dengan gaun cokelat yang memesan di hadapan Felix namun tak kasat mata di mata ketiga kawannya yang lain. Ia merasakan ketakutan tak biasa saat bergumam dalam hati, Hyunjin tidak bohong.

ㅤㅤChanhee merapat ke meja, seolah hal tersebut bisa mengeliminasi jarak di antaranya dan sosok si wanita.

ㅤㅤ“Mereka enggak mengganggu kok selama Jacob tinggal di tempat ini,” kata Sangyeon menenangkan, sekaligus memberikan celah baru bagi Chanhee untuk bertanya.

ㅤㅤ“Kok bisa begitu?”

ㅤㅤSelama sepersekian detik, Chanhee yakin Sangyeon melirik ke balik bahunya. Pemuda itu hanya berharap sosok yang dilihat Sangyeon tak sedang berjalan mendekat.

ㅤㅤ“Well — aku enggak merasa bisa lebih baik dari Jacob untuk menjelaskan hal itu,” balas Sangyeon, diam-diam merasa topik tersebut telah mencakup sisi rapuh dalam diri Jacob yang ia rasa tak pantas untuk diungkap selain oleh empunya. “Kurasa kamu harus tanya langsung ke Jacob, biar surprise.”

ㅤㅤChanhee melongo. Bisa-bisanya Sangyeon berkata demikian, seolah semua hal yang baru saja ia jelaskan tak mengandung kejutan untuk semua akal sehat manusia. Lama kelamaan, Chanhee bisa melihat kemiripan Sangyeon dengan Haknyeon. Keduanya sama-sama mampu berpikir rasional dan berkepala dingin di segala situasi, meskipun kali ini kasus Sangyeon sedikit lebih ekstrim, karena Chanhee tidak yakin apakah normal bagi manusia biasa untuk tidak panik jika sehari-hari disuguhi pengalaman mistis.

ㅤㅤMeski telah dijelaskan, perkara time travel masih diliputi banyak misteri. Enigma, Chanhee telah memilih untuk terjun dalam danau dengan pantulan langit biru tanpa awan mendung hanya untuk merasa semakin tersesat begitu ia menyelam; tak menemukan keindahan yang dia idamkan dari permukaan.

ㅤㅤSetidaknya begitulah menurut Chanhee, dan seolah bisa membaca pikirannya, Sangyeon kembali bersuara.

ㅤㅤ“Kamu enggak perlu tahu semuanya saat ini juga,” kata Sangyeon, “aku cuma bisa mengonfirmasi tentang sejarah kafe ini dan urban legend itu nyata. Tentang bagaimana itu semua bisa terjadi, rasanya itu sudah di luar nalar kita sebagai manusia, jadi lebih bijak kalau kamu eliminasi pertanyaan-pertanyaan itu. Fokus sama apa yang bisa kamu lakukan dengan fakta tersebut.”

ㅤㅤWow, batin Chanhee, terkesima dengan kalimat yang baru saja dilontarkan padanya. Sangyeon tidak segan-segan memberikan nasihat padanya benar-benar mengingatkan Chanhee pada malam yang ia lalui bersama Juyeon di sebuah bar. Kala itu, Chanhee tak habis pikir kenapa Juyeon bisa bercengkerama dengan seorang bartender dan mendapat nasihat hidup yang terdengar masuk akal bagi mereka berdua. Mungkin bersifat bijak dan menjadi pendengar yang baik merupakan salah satu syarat tidak tertulis bagi para pelaku usaha food & beverages, begitulah asumsi Chanhee. Atau mungkin alasannya tidak sedalam itu, mungkin sesederhana orang asing memang mampu melihat dalam diri ini secara objektif.

ㅤㅤ“Aku enggak tahu harus bilang apa lagi selain terima kasih,” ujar Chanhee akhirnya. Ucapan itu disambut dengan senyum Sangyeon yang terlihat semakin ramah seiring berjalannya waktu.

ㅤㅤ“Bilang itu ke Jacob nanti,” balasnya merendah.

ㅤㅤ“Aku boleh tanya satu lagi Kak?” Chanhee menatapnya, agak waswas. “Tapi agak personal, sih.”

ㅤㅤ“Apa tuh?”

ㅤㅤ“Kakak sedekat apa sama Kak Jacob?”

ㅤㅤOh, Chanhee tahu ia pertanyaan barusan sangatlah tepat sasaran, sebab setelahnya ia menyaksikan bagaimana senyum Sangyeon kembali merekah dengan kehangatan yang tak bisa ia jelaskan. Dilihatnya lengan Sangyeon terlipat di atas meja, menopang beban tubuh selagi kedua netranya menerawang ke langit-langit kafe selama beberapa saat sebelum pandangannya kembali kepada si pemuda berambut hitam.

ㅤㅤ“Kayanya enggak berlebihan untuk bilang he’s my best friend, the only one I have.

ㅤㅤBest friend.

ㅤㅤBetapa remuk hati Chanhee mendengar kata tersebut. Sungguh, bukannya merasa iri atas apa yang dimiliki Jacob dan Sangyeon, ia senang melihat seorang altruis seperti Jacob Bae memiliki kawan dekat dengan mental teguh. Hanya saja, Chanhee teringat bahwa dia pernah berada di posisi mereka, namun ia tak mampu menerka sudah berapa lama sejak terakhir kali ia memiliki seorang sahabat.

2022 © PRETTYNEWTALE

--

--

Luna
Luna

Written by Luna

0 Followers

— for writing purposes only

No responses yet